Sunday, May 12, 2013

Tahukah Anda......?: Penyokong Anwar Ditangkap Berdemontrasi Di Singapu...

Tahukah Anda......?: Penyokong Anwar Ditangkap Berdemontrasi Di Singapu...: Elya bising bising: Penyokong Anwar Ditangkap Berdemontrasi Di Singapu... : Anda lihatlah bertapa bezanya undang-undang singapura dengan ma...

Is "Hang Tuah" is from Sulawesi?




Generasi Pejuang Bangsa impressed with an article by blogger otai Mahaguru 58 successful dismantling of the origins of Hang Tuah, allegedly by Khoo Kay Kim did not exist and there is no record. Mahaguru 58 using one of the most historic resources for the Malays in the history of the Malay Archipelago or Salatus Salatin Tun Sri Lanang work.
On pages 103 and 104 of the manuscripts, it clearly stated of Hang Tuah's origins! I will publish the essence of the information displayed there:


Maka sembah Seri Bija Pikrama, "Tuanku, yang kegemaran paduka adinda itu, jikalau ada budak laki-laki yang baik rupanya dan sikap serta dengan beraninya, itulah yang kegemaran paduka adinda."


Maka titah raja di Gowa, "Budak-budak bagaimana itu? Anak orang baikkah? Atau sebarang orangkah?"


Maka sembah Seri Bija Pikrama, "Jikalau boleh, anak orang baiklah, keraeng."


Setelah baginda mendengar kata Seri Bija Pikrama itu, maka titah raja di Gowa kepada juak-juaknya, "Pergi engkau semua carikan aku, anak daeng baik, anak hulubalang baik; barang yang baik rupanya dan sikapnya engkau ambil."


Maka segala juak-juaknya pun pergilah mencari anak orang, daripada segala kampung dan dusun dicarinya tiada dapat olehnya. Maka didengar nya ada anak raja Bajung yang terlalu baik rupanya dan sikapnya, bapanya sudah mati.


Maka segala juak-juak itu pun pergilah ke Bajung. Setelah sampai, dilihatnya sungguh seperti khabar orang itu, lalu diambilnya, dibawanya kembali mengadap raja di Gowa dipersembahkannya.


Maka oleh raja di Gowa, ditunjukkannya pada utusan itu. Maka titah baginda, "Budak ini berkenankah saudaraku di Melaka, orang kaya?"


Maka dipandang oleh utusan kedua itu, terlalulah ia berkenan dengan gemar nya. Maka sembah Seri Bija Pikrama, "Demikianlah tuanku, yang dikehendaki paduka adinda."


Maka titah baginda, ''Jika demikian budak inilah Orang Kaya, aku kirimkan kepada saudaraku raja Melaka, ia ini anak raja Bajung, daripada tanda muafakat, serta dengan kasihku akan saudaraku raja Melaka, maka aku berikan."


Maka sembah Seri Bija Pikrama, "Sebenarnya lah titah tuanku itu; yang titah paduka adinda pun demikian juga, tuanku. "


Adapun anak raja Bajung itu Daeng Merupawah namanya; umur nya baru dua belas tahun. Diceriterakan orang yang empunya ceritera, sudah dua ia membunuh, mengembari orang mengamuk di negeri.


Setelah keesokan hari, maka utusan kedua itu pun naiklah mengadap Raja Mengkasar, didapatinya raja di Gowa telah pepak dihadap orang.


Maka Seri Bija Pikrama dan Tun Sura Diraja pun duduk menyembah. Maka oleh raja di Gowa utusan kedua itu dipersalini dengan sepertinya. Maka keduanya menyembah.


Maka titah raja di Gowa, "Katakan kepada saudaraku, Orang Kaya, akan Daeng Merupawah ini petaruhku Orang Kaya kedua kepada saudaraku, Raja Melaka. PerHamba ia baik-baik, dan kalau ada sesuatu yang dikehendaki oleh saudaraku, Raja Melaka, dalam Mengkasar ini menyuruh ia kepada aku." Maka sembah utusan kedua itu, "Baiklah tuanku."


Setelah itu maka kedua utusan itu pun bermohonlah, lalu turun. Maka surat dan bingkisan pun diarak oranglah dengan selengkap alatnya, dengan segala bunyi-bunyian.




Setelah datang ke perahu maka surat serta bingkisan itu disambut oranglah, disirupan. Maka segala yang menghantar itu pun kembalilah; maka Daeng Merupawah serta dengan Seri Bija Pikrama, maka kedua buahnya itupun belayarlah kembali.?*


Hatta berapa lamanya di jalan, maka sampailah ke Melaka. Maka dipersembahkan orang kepada Sultan Mansur Syah, mengatakan Seri Bija Pikrama telah datang.


Maka baginda pun keluarlah, semayam dihadap segala Orang Besar-besar dan hulubalang sida-sida, bentara, biduanda, Hamba raja sekalian. Maka surat itu disuruh baginda sambut dengan istiadatnya. Maka Seri Bija Pikrama dan Tun Sura Diraja pun bersama sama baginda, serta membawa Daeng Merupawah.


Setelah sampai ke balai, maka surat disambut bentara dipersembahkan ke bawah duli baginda; maka disuruh baca kepada khatib.


Setelah sudah dibaca, maka Sultan Mansur Syah pun terlalu sukacita mendengar bunyi surat Raja Mengkasar itu.


Maka Seri Bija Pikrama dan Tun Sura Diraja pun naik menjunjung duli, lalu duduk mengadap kepada tempatnya sedia itu; maka Daeng Merupawah pun dipersembahkan ke bawah duli dengan segala pesan raja Mengkasar itu semuanya dipindahkannya.


Maka Sultan Mansur Syah pun terlalu suka, serta berkenan baginda memandang rupa dan sikapnya Daeng Merupawah itu. Maka titah baginda, "Bagaimana maka Raja Mengkasar berkirimkan anak raja Bajung ini? Dilanggarkah raja Bajung maka anaknya tertawan ini?"


Maka sembah Seri Bija Pikrama, "Tiada tuanku, Raja Mengkasar bertanya kepada patik akan kegemaran duli tuanku maka patik katakan gemar akan budak yang baik rupa." Maka semuanya perihal ehwalnya habis dipersembahkannya ke bawah duli Sultan Mansur Syah.


Maka baginda pun suka, serta Seri Bija Pikrama dipuji baginda. Maka Daeng Merupawah itu dinamai baginda Hang Tuah, itulah asal Hang Tuah; maka dipeliharakan oleh baginda dengan sepertinya, terlalu kasih baginda akan Hang Tuah, maka dianugerahi akan dia sebilah keris terupa Melaka dengan selengkap perhiasannya.


Adapun Hang Tuah selama ia di Melaka, tiada lain kerjanya, hanya berguru akan ilmu hulubalang. Barang siapa yang lebih tahunya dimasukinya; adalah kepada zaman itu tiadalah dua orang-orang muda sebagainya.


Adapun "Perhangan" ke bawah duli Sultan Mansur Syah yang setelah sudah pilihan delapan orang, iaitu Hang Jebat, dan Hang Kasturi, dan Hang Lekir, dan Hang Lekiu, dan Hang Ali dan Hang Iskandar, dan Hang Hassan, dan Hang Hussin; dan tua-tuanya Tun Bija Sura, menjadi sembilan dengan Hang Tuah.




Such information displayed Admiral Hang Tuah himself who came from Makassar and called Daeng Merupawah, son of King Bajung.
Why did not completed the study of the origins of the Malacca Sultanate warrior and let people question its existence?


Sumber






The Origins of "Hang Tuah" Part 2



  History textbooks will be rewritten to align with the facts rather than myth and legend, according to historian Prof Emeritus Tan Sri Khoo Kay Kim.

  For example, he said, there is no record of admiral of Malacca Hang Tuah, Hang Jebat and Princess Hang Li Po really exist, according to The Star.
  However, it is not clear whether anecdotal history that can not be verified will be included in the proposed new history syllabus for 2014.

  Khoo (right) are also part of the curriculum committee members to analyze, said talks should not be included as fact in textbooks.

"The main agenda of this committee to instill patriotic elements" (the students)

"My personal view, myths and legends should not be included in the curriculum.

"However, if they choose to insert it, it must clearly state that the story is not based on facts," he was quoted as saying to the English-language daily.
 

The Origins of "Hang Tuah" Part 1



A lot of Malaysians though "Hang Tuah" is a Malay. But, from the report from Mohd. Yunus Ibrahim from the history department from UKM, he said all of them comes from a Chinese descendant. He did a research about the ancient Malay names, but none of them started their names with "Hang" in front of their names. It just like from the Chinese name, which is started with Hang, Tan, Maa and Lee. It also cannot be a nickname for them from the King.
From the history book W.G. Shellabear, from the page 123-131, tells about “Tun Pepatih Putih (senders of Sultan Mansur Shah). He were sent to China and bring back 500 women (including Hang Li Po). So, he relate that case to this case now. He make a hypothesis, the name “Hang Tuah” is actually called “Hang Too Ah”, same as the others.
Hang Jebat (Hang Jee Fatt)
Hang Lekir (Hang Lee Ker)
Hang Lekiu ( Hang Lee Kiew)
Hang Kasturi - This name is usually called and used by Malay. Got 3 assumptions through the hypothesis.


Hang Kasturi is a Malay and close to 4 of them, or other Chinese group.
His name is Kasturi, so 4 of them give him a nickname “Hang”.
He is a Chinese, but his name cannot be pronounced by the citizen. So, he changed his name to “Hang Kasturi”, since “Kasturi” is a Malay name.

Ketuanan melayu...

Saga of hang tuah!!!!
   Hang Tuah's illustrious career as an admiral or laksamana includes tales of his absolute and unfaltering loyalty to his Sultan, some of which are chronicled in Sejarah Melayu (the semi-historical Malay Annals) and Hikayat Hang Tuah (a romantic collection of tales involving Hang Tuah).
Hang Tuah became the Sultan's constant aide, accompanying the King on official visits to foreign countries. On one such visit to Majapahit, Taming Sari, a famous Majapahit warrior, challenged Hang Tuah to a duel. After a brutal fight, Hang Tuah emerged as winner and the ruler of Majapahit bestowed upon him Taming Sari’s kris or weapon. The Taming Sari kris was named after its original owner, and was purported to be magical, empowering its owner with invincibility. It is said to be the source of Hang Tuah’s alleged supernatural abilities.
   Hang Tuah also acted as the Sultan's ambassador, travelling on his Sultan's behalf to allied countries. Another story concerning Hang Tuah's legendary loyalty to the Sultan is found in the Hikayat Hang Tuah, and involves his visit to Inderaputra or Pahang during one such voyage. The Sultan sent Hang Tuah to Pahang with the task of persuading the princess Tun Teja, who was already engaged, to become the Sultan's companion. Tun Teja fell under the impression that Hang Tuah had come to persuade her to marry him, not the Sultan, and agreed to elope with him to Melaka. It was only during the voyage home that Hang Tuah revealed his deception to Tun Teja.
   The Hikayat Hang Tuah and Sejarah Melayu each carry different accounts of this incident, however. The Hikayat records that it was Hang Tuah who persuaded Tun Teja to elope with him, thus deceiving her. Sejarah Melayu, however, claims that it was another warrior, Hang Nadim, who deceived Tun Teja.
Perhaps the most famous story in which Hang Tuah is involved is his fight with his closest childhood companion, Hang Jebat. Hang Tuah's deep loyalty to and popularity with the Sultan led to rumours being circulated that Hang Tuah was having an illicit affair with one of the Sultan's stewardess dayang. The Sultan sentenced Hang Tuah to death without trial for the alleged offense. The death sentence was never carried out, however, because Hang Tuah's executioner, the Bendahara, went against the Sultan’s orders and hid Hang Tuah in a remote region of Melaka.
   Believing that Hang Tuah was dead, murdered unjustly by the Sultan he served, Hang Jebat avenged his friend's death. Hang Jebat's revenge allegedly became a palace killing spree or furious rebellion against the Sultan (sources differ as to what actually occurred). It remains consistent, however, that Hang Jebat wreaked havoc onto the royal court, and the Sultan was unable to stop him, as none of the Sultan's warriors dared to challenge the more ferocious and skilled Hang Jebat. The Bendahara then informed the Sultan that the only man able to stop Hang Jebat, Hang Tuah, was still alive. The Bendahara recalled Hang Tuah from his hiding place and the warrior was given full amnesty by the Sultan and instructed to kill Hang Jebat. After seven gruelling days of fighting, Hang Tuah was able to kill Hang Jebat.
   It is notable that the two main sources of Hang Tuah's life differ yet again on the details of his life. According the Hikayat Hang Tuah, it was Hang Jebat who avenged his friend's death, only to be killed by the same friend, but according to Sejarah Melayu, it was Hang Kasturi. The Sejarah Melayu or the Malay Annals are unique in that they constitute the only available account of the history of the Malay Sultanate in the fifteenth and early sixteenth century, but the Hang Jebat story, as the more romantic tale, remains more popular.
   Hang Tuah continued to serve Malacca after the death of Hang Jebat. Later in his life, as Hang Tuah progressed in his years, the warrior was ordered by the successive Malaccan Sultan to court a legendary princess on the Sultan's behalf. The Puteri Gunung Ledang (Princess of Mount Ledang) was so named because she resided on Mount Ledang at the Melaka-Johor border. According to legend, the Princess met with Hang Tuah, and only agreed to marry the Sultan if he satisfied a list of requirements, or pre-wedding gifts. The list included a golden bridge linking Melaka with the top of Gunung Ledang, seven trays of mosquito livers, seven jars of virgins' tears and a bowl of the Sultan's first born son's blood. Hang Tuah knew the tasks would not be fulfilled, and was said to be so overwhelmed that he failed his Sultan that he flung his kris into a river and vowed only to return to Melaka if it resurfaced, which it never did. It was also said that he then vanished into thin air. According to other sources, however, Hang Tuah lived until old age, and his body is said to be have been buried in Tanjung Kling in Melaka, where his tomb can still be seen today.